SMKN 1 Cilamaya dikenal dengan SMK Kelautan sehingga untuk nama ambalan dirasa lebih cocok dengan nama salah seorang pahlawan yang berhubungan dengan laut. Oleh sebab itu maka dipilihlah Laksaman Laut R.E. Martadinata untuk nama ambalan putra dan Laksamana Malahayati untuk ambalan putri.
Inilah seklumit biografi kedua tokoh besar tersebut.
Laksamana Laut R.E. Martadinata
Menteri / Panglima Angkatan Laut periode Th. 1959 - 1965
Menteri / Panglima Angkatan Laut periode Th. 1959 - 1965
R.E.
Martadinata dilahirkan pada tanggal 29 Maret 1921 di Bandung dari pasangan
Raden Ruchijat Martadinata dengan Raden Soehaeni. Mengenyam pendidikan di
bangku sekolah diawali dengan masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Lahat
(1927-1934) dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs bagian B (MULO-B)
Bandung (1934- 1938) dan Algemene Middelbare School (AMS) Jakarta (1938-1941).
Keinginan untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya dilakukan dengan masuk
pendidikan tinggi Zeevaart Technische School Jakarta pada tahun 1942 tetapi
tidak sampai tamat karena masuknya tentara Jepang. Pada tahun 1943, pemerintah
pendudukan Jepang membuka kesempatan bagi para pemuda pribumi untuk masuk
Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT). R.E. Martadinata berhasil menyelesaikan dengan
nilai terbaik sehingga ia diangkat menjadi Guru SPT Jakarta. Disela-sela
mengajarkan ilmu kelautan kepada murid-muridnya, R.E. Martadinata juga
menanamkan jiwa nasionalisme dengan semboyan “ Kuasailah Lautanmu”. Semboyan
tersebut merupakan ungkapan semangat dari sanubari yang paling dalam dari anak
pribumi karena selama berabad-abad lautan Indonesia dikuasai oleh bangsa asing.
Masih dalam lingkungan SPT, ia diberi kepercayaan untuk memimpin kapal latih
Dai-28 Sakura Maru pada tanggal 1 Nopember 1944. Dengan bekal keahliannya dalam
ilmu pelayaran, R.E. Martadinata bersama-sama dengan para pemuda lulusan SPT,
para pelaut dari Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisya ikut aktif membantu persiapan
kemerdekaan. Para pemuda dan pelaut dengan semangat nasionalisme yang tinggi
ini bergabung dan membentuk “Barisan Banteng Laut” dipimpin R.E. Martadinata
yang bermarkas di Penjaringan Jakarta. Kesatuan laskar Barisan Banteng Laut ini
merupakan bagian penting dalam perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Menjelang
proklamasi 17 Agustus 1945, kelompok bahariawan ini berhasil meng-hubungi Bung
Karno dan Bung Hatta untuk berdiskusi dan menyampaikan informasi dalam rangka
membantu persiapan proklamasi.
Setelah
proklamasi dikumandangkan, kewajiban setiap rakyat Indonesia adalah
mempertahankan kemerdekaan dengan seluruh jiwa dan raganya. Para pemuda pelaut
di bawah pimpinan R.E. Martadinata melucuti senjata tentara Jepang, merebut
kapal-kapal milik Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisya, menguasai pelabuhan
penting dan menduduki gedung-gedung dan kantor milik pendudukan Jepang.
Tanggal 10 September 1945, para tokoh pelaut mendirikan Badan Keamanan Rakyat
Laut Pusat (cikal bakal TNI AL) dipimpin M. Pardi yang bermarkas di Jl. Budi
Utomo Jakarta Pusat. R.E. Martadinata bersama dengan Adam menjadi staf pembantu
didukung oleh Darjaatmaka, R. Surjadi dan Oentoro Koesmardjo.
Dunia
pendidikan selalu dekat dengan perjuang-annya yaitu ketika diangkat menjadi
komandan Latihan Opsir Kilat ALRI di Kalibakung. Ketika meletus Agresi Militer pertama
Belanda, ia bersama-sama dengan para siswa terjun ke medan pertempuran dan
bergerilya menghadapi Belanda di sektor Tegal dan Pekalongan. Usai bertempur,
ia ditunjuk untuk membuka pendidikan perwira Basic Operation School di Sarangan
sebagai kelanjutan pendidikan di Kalibakung. Sejak tanggal 1 Desember 1948,
R.E. Martadinata mendampingi KSAL R. Soebijakto membentuk Angkatan Laut Daerah
Aceh (ALDA) untuk mengorganisir armada penyelundup, Training Station Serang
Jaya dan kebutuhan logistik.
Setelah
pengakuan kemerdekaan, Belanda menyerahkan dua korvet kepada pemerintah RI dan
R.E. Martadinata menjadi salah satu komandan kapal yang diberi nama RI Hang
Tuah yang pernah ikut menum-pas pemberontakan Andi Aziz di Makassar. Perjalanan
karirnya terus menanjak dan dipercaya menjadi Ko-mandan Kesatuan ALRI di Italia
(Kalita) untuk meng-awasi pembuatan dua kapal korvet dan dua kapal fregat.
Puncak karir di ALRI ketika diangkat menjadi KSAL pada tanggal 17 Juli 1959 dan
saat itu dilakukan perubahan dengan program “Menuju Angkatan Laut yang Jaya”
dengan bertitik tolak pada konsepsi Wawasan Nusantara. Membangun Angkatan Laut
yang kuat perlu penataan kekuatan Armada dan operasi yang didukung dengan
pendirian darat. Armada Angkatan Laut menjadi bertambah kuat dengan pengadaan
kapal perang, pesawat udara, pasukan komando dan peralatannya serta pendirian
fasilitas pangkalan secara moderen sehingga pada tanggal 5 Desember 1959
lahirlah Armada Republik Indonesia yang menjadi kekuatan terbesar di Asia
Tenggara dan menjadi kebanggaan rakyat.
Pengabdian
kepada bangsa dan negara dilanjutkan ketika diangkat menjadi Duta Besar dan
Berkuasa Penuh di Pakistan pada tanggal 1 September 1966. Pada saat peringatan
HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1966, ia datang ke Jakarta untuk menerima kenaikan
pangkat menjadi Laksamana di Istana Negara. Tanggal 6 Oktober 1966, R.E.
Martadinata mengajak koleganya dari Pakistan Kolonel Syed Mazhar Ahmed dan
istrinya Begum Salma serta Magda Elizabeth Mari Rauf ke Puncak menggunakan
helikopter jenis Alloute A IV 422 yang dipiloti Letnan Willy. Kembali dari
Puncak menuju Jakarta, R.E. Martadinata mengambil alih kemudi pesawat dan
menerbangkan sendiri bersama tamunya. Tetapi naas, saat melewati Puncak Pass
tiba-tiba cuaca buruk dan pesawat heli menabrak tebing batu dan meledak
mengakibatkan gugurnya R.E. Martadinata dan seluruh penumpangnya. Jenazah-nya
dimakamkan di Kalibata dengan inspektur upacara Jenderal TNI Soeharto.
Pemerintah menghargai jasa-jasa dan perjuangannya serta mengangkat Laksamana
TNI R.E. Martadinata sebagai Pahlawan Nasional melalui Skep Presiden tanggal 7
Oktober 1966.
Malahayati
Malahayati,
adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan
Aceh. Nama aslinya adalah Keumalahayati. Ayah Keumalahayati bernama
Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad
Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah
sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah
(1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada tahun 1585-1604, memegang jabatan
Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol
Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong
Balee (janda-janda pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal
dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September
1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu
lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana
untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati. Salah satu Pelabuhan laut di Aceh dinamakan
Pelabuhan Malahayati.
Pernah mendengar nama kapal perang KRI
Malahayati ? Banyak orang yang tidak tahu, siapakah yang memiliki nama
besar dan terhormat itu sehingga diabadikan dalam nama sebuah kapal perang.
Beliau adalah seorang perempuan yang agung (grande dame), yang memimpin
sebuah laskar pejuang yang terdiri dari para pejuang dan laskar perempuan dan
kebanyakan adalah janda yang ditinggal wafat suami mereka dalam perjuangan
melawan penjajah. Malahayati juga seorang janda karena suami Malahayati juga
gugur saat berperang melawan Portugis sewaktu akan menguasai selat Malaka,
yakni pada pertempuran laut Teluk Haru. Laskar tersebut dinamai Laskar Inong
Balee atau yang bermakna Laskar para Janda pahlawan. Beranggotakan 2000
orang prajurit, semuanya perempuan.
Malahayati, nama aslinya adalah Keumala Hayati putri Laksamana
Mahmud Syah, hidup di masa Kerajaan (Kesultanan) Atjeh dipimpin oleh Sultan
Alaiddin Ali Riayat Syah IV yang memerintah antara tahun 1589-1604 M.
Malahayati pada awalnya adalah dipercaya sebagai kepala pengawal dan protokol
di dalam dan luar istana, berpasangan dengan Cut Limpah yang bertugas sebagai
petugas Dinas Rahasia dan Intelijen Negara. Setelah menyelesaikan pendidikannya
di MEUNASAH/ PESANTREN, beliau meneruskan pendidikannya ke AKADEMI MILITER
KERAJAAN “MA’HAD BAITUL MAQDIS”, akademi militer yang dibangun dengan
dukungan Sultan Selim II dari Turki Utsmaniyah. Akademi ini didukung
oleh 100 dosen angkatan laut yang sengaja didatangkan dari kerajaan Turki
tersebut. Disini pula ia bertemu jodohnya sesama kadet yang akhirnya menjadi
Laksamana, namun sampai kini nama suaminya belum dapat diketahui dengan pasti.
Karir militernya menanjak setelah kesuksesannya “menghajar” kapal perang
Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Cornelis de Houtman yang terkenal
kejam. Bahkan Cornelis de Houtman tewas ditangan Malahayati pada pertempuran
satu lawan satu di geladak kapal pada 11 September 1599, sedang adiknya Frederich
de Houtman tertawan dan dipenjarakan selama kurang lebih satu tahun.
Frederich inilah orang Eropa pertama yang menterjemahkan Bijbel kedalam bahasa
Melayu. Akhirnya beliau diberi anugerah gelar Laksamana (Admiral). Dan
beliaulah Laksamana Perempuan Pertama Di Dunia, dimana pada saat itu kaum
perempuan dibelahan bumi yang lain termasuk di Eropa dalam keadaan jumud dan
hanya sebagai “konco wingking”. Maka kehebatan kaum perempuan Melayu-
Nusantara ini kemudian menginspirasi perubahan PERAN KAUM PEREMPUAN DISELURUH
DUNIA. Beliau juga tercatat dalam sejarah sukses menghalau Portugis dan Belanda
masuk ke Aceh, sesuai catatan seorang wanita Belanda, Marie Van Zuchtelen,
dalam bukunya berjudul “Vrouwlijke Admiral Malahayati” (Malahayati- Sang
Admiral Wanita).
Malahayati juga seorang diplomat
ulung dan ahli politik dalam negeri yang luar biasa. Beliaulah yang menjalin
ikatan persahabatan dengan utusan Ratu Elisabeth I dari Inggris, yakni Sir
James Lancaster pada 6 Juni 1602. Beliau pula yang menyelesaikan intrik istana
dimana tatkala Sultan Alaiddin Ali yang telah berumur 94 tahun di “Kudeta” oleh
putra mahkotanya sendiri yang kurang mampu memerintah. Akhirnya Malahayati
melakukan manuver cerdik melengserkan putra mahkota tersebut dan mengangkat
Darmawangsa sebagai Sultan baru berjuluk Sultan Iskandar Muda yang legendaries
itu (1607~ 1636).
Selain itu, beliau juga mendirikan
sebuah benteng yang dikenal dengan Benteng Inong Balee di Desa Lamreh,
Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Benteng tersebut menghadap ke
barat, ke arah Selat Malaka. Benteng ini merupakan benteng pertahanan sekaligus
sebagai asrama penampungan janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran.
Selain itu juga digunakan sebagai sarana pelatihan militer dan penempatan
logistik keperluan perang.
Setelah wafat dalam pertempuran laut
Teluk Krueng Raya Malahayati dimakamkan tidak jauh dari Benteng Inong Balee,
sekitar 3 Km dari benteng berada diatas bukit. Lokasi makam pada puncak bukit,
merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap tokoh yang dimakamkan.
Penempatan makam di puncak bukit kemungkinan dikaitkan dengan anggapan bahwa
tempat yang tinggi itu suci. Beberapa kompleks makam di daerah lain yang
terdapat di puncak bukit antara lain: Kompleks Makam Raja-raja Mataram di
Imogiri Yogyakarta, makam Sunan Giri di Giri Gresik, Sunan Muria di Kudus, dan
Gunung Jati di Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar